Khatmu Ramadhan : Mulia dalam Karunia, Menutup Lembar dalam Kesucian
Oleh Wildan Fauzi
*Menggapai Mulia dalam karunia*
• Apa arti Mulia ?
- Berdasarkan KBBI artinya :
1. tinggi (*tentang kedudukan, pangkat, martabat*), tertinggi, terhormat.
2. luhur (budi dan sebagainya); baik budi (hati dan sebagainya)
3. bermutu tinggi; berharga (tentang logam, misalnya emas, perak, dan sebagainya):
Manusia mulia adalah manusia yang ada pada kedudukan tinggi, baik budi pekerti dan ucb memiliki kualitas & kelebihan.
- Berdasarkan derivasi bahasa arab :
Kata mulia dalam bahasa arab dibahasakan dengan كرم / كريم/اكرم ، yang memiliki makna mendalam, berkaitan dengan hirarki ta'abudi manusia, proses keta'atan, implementasi akhlak berdasarkan sunnah.
• Apa yang disebut karunia ?
- Berdasarkan KBBI artinya :
1. kasih sayang; belas kasih: dengan -- Allah aku dapat menyelesaikan pekerjaan ini; dengan Allab aku mampu melaksanakan segala sesuatu.
2. Pemberian atau anugerah dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah.
----- Menggapai Mulia dalam karunia-----
Arah kajiannya adalah menempatkan karunia dalam lajur menggapai Mulia dalam pandangan Allah swt.
- Bagaimana Islam memandang tentang mulia atau kemuliaan ?
Menjadi mulia adalah keinginan setiap manusia, namun tidak setiap manusia mengetahui hakekat kemuliaan. Kemuliaan yang hakiki adalah mulia dalam pandangan Allah. Allah swt. Menilai kemuliaan manusia berdasarkan kaca mata ketaqwaannya. Dalam Al-Quran Allah swt berfirman :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]:13)
- Bagaimana ciri taqwa dalam menggapai mulia ?
' Alamah taqwa ( Tanda taqwa ) terbagi menjadi beberapa bagian :
1. Tanda Ruhani / Al-Alamah Ar-Ruhaniyyah / Ciri Internal individu manusia bertaqwa.
-- Pada tanda ini, orang yang bertaqwa adalah orang yang takut kepada Allah. Takut akan adzabNya, takut tidak mendapat ampunanNya, Takut tidak dalam ridhoNya, takut Allah berpaling darinya, Kalau Allah sudah berpaling darinya, mau siapa yang memberi perlindungan dan pertolongan ? Rasa takut inilah yang mendorong manusia menjadi pribadi yang hati-hati dalam beramal.
Selain itu, ciri taqwa adalah malu atau orang yang malu kepada Allah. Malu dalam arti Positif. Malu ketika kita diberikan sehat, tapi tak pernah bersyukur, malu ketika diberikan harta, tapi tak dermawan, malu diberikan ilmu tapi tak mau berbagi, malu diberikan kedudukan tapi malah sombong. Dan malu yang paling mendasar adalah malu diberika karunia tapi masih suka dan sengaja bermaksiat kepadaNya.
Kemudian, orang yang bertaqwa juga adalah orang yang ikhlas. Ikhlas adalah perbuatan hati, manusia tidak dapat menduga-duga apakah seseorang itu ikhlas atau tidak, karena yang tau adalah dirinya dan rabbnya. Ikhlas itu menyandarkan segala perbuatan semata-mata kecintaan dan pengharapan karena Allah.
Dalam kitab *Ath-Thibyan fi adabi hamalatil Quran* karya Al-Imam An-Nawawi rohimahullah, menjelaskan dari beberapa riwayat tentang kajian ikhlas.
1. Riwayat Al-Ustadz Abil Qosim Al-Qusyairi rohimahullah, ia berkata : "ikhlas itu mengesakan Allah yang maha benar dalam tujuan melakukan keta'atan. Tidak ada perkara makhluk yang mengikuti dasar niatnya." ( Lihat Kitab Ar-Risalatul Qusyairiyyah hal. 162)
2. Riwayat Hudzaifah Al-Mar'asyi rohimahullah, ia mengatakan " ikhlas itu kesamaan perbuatan hamba secara lahir dan batinnya "
3. Riwayat Dzunnun rohimahullah, ia berkata : ada 3 perkara yang merupakan tanda-tanda ikhlas, yaitu tidak terpengaruh oleh pujian dan celaan orang banyak, lupa melihat amalan dalam amalnya, dan mengharap balasan dari amalannya di akhirat.
4. Riwayat Al-Fudail Bin Iyadh rohimahullah, ia berkata : Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya, melakukan amalan karena manusia adalah syirik, sedangkan yamg dimaksud dengan ikhlas adalah keadaan kita Allah membebaskanmu dari keduanya.
Maka berdasarkan alamah/ciri ini, seseorang yang memiliki sifat taqwa, menempatkan hatinya dalam kuasa penghambaan yang mampu mengalahkan sifat hewani yang ada pada dirinya.
2. Tanda Dhohir / Al-Alamah Ad-Dohiriyyah
Tanda taqwa / ciri-ciri ketaqwaan yang dijelaskan dalam Al-Quran yaitu :
Dalam Qs. Al-Baqarah : 2-4
Tanda Taqwa dalam ayat tersebut adalah
1. Tauhid Kepada Allah ( Syahadah )
2. Mendirikan sholat
3. Membayar Zakat
4. Iman kepada Al-Quran dan kitab2 terdahulu
Dalam ayat yang lain disebutkan, tanda/ciri bertaqwa itu :
1. Melaksanakan shaum ( Qs. Al-Baqarah : 183 )
2. Menahan Amarah
3. Memaafkan kesalahan
4. Infak ketika lapang/sempit
Sahabatku semuanya,.
Mari kita kerucutkan dan ambil core dari kajian-kajian teoritis tadi,.
Bahwa Allah swt, senantiasa memberikan karunia kepada seluruh makhluknya. Entah itu yang beriman ataupun yang tidak. Hal ini memang merupakan sifat Allah yang maha Rahman.
Perlu kita cermati, karunia yang luas ini, yang bermacam-macam bentuknya, tak terbatas, tak dapat dihitung, yang disadari ataupun tidak, adalah bentuk kemaha adilan Allah sebagai Rabbul 'Alamiin yang menjadi jalan keselamatan manusia, manakala ia mampu menempatkan karunia itu dalam tempat yang semestinya.
Time of Muhasabah !
Coba renungkan bersama, dengan hati penuh kesadaran !
Allah memberikan Karunia sehat. Berapa persen kah dari kesehatan kita yang digunakan untuk kebaikan ?
Allah memberikan karunia kekuatan. Sejauhmana kekuatanmu digunakan dalam kesungguhan mengapai ridhoNya ?
Allah memberikan karunia harta. Apa yang kamu harapkan dari hartamu ? Kesenangan dunia kah ? Kemewahan kah ? Atau apa ?
Allah mengamanahkan karunia Usia. Dari usia yang ada, amalan mendasar apa yang akan menjadi pembela kita diyaumil akhir, amalan khusus apa yang sudah dipersiapkan, habis dimana waktu kita ? Habis untuk apa usia kita ?
Masih banyak lagi yang perlu kita renungkan, sebagai pelajaran dan hikmah dalam penguatan keimanan kita.
Oleh karena itu,.
Dalam momentum khatamun Ramadhan, ketika kesempatan masih diberikan, waktu masih berjalan, dalam kesehatan dan kekuatan maka sama-sama kita buat pola hidup kita, mind mapping yang jelas menuju ke kemuliaan dunia & akhirat.
Maka kemuliaan, timbangannya bukan karena kepemilikan harta yang banyak, pangkat/jabatan yang tinggi, Ilm yang banyak, raga yang kuat. Tapi, kemuliaan dalam pandangan Allah adalah apa yang diamanahkan Allah kepadanya dari karuniaNya diamalkan sesuai dengan keinginan yang memberi amanah ( Allah swt ).
Maka mulia adalah soal kualitas. Semakin tinggi derajat ta'abudi manusia semakin mulia dihadapan Allah swt. Dan orang yang paling mulia disisi Allah adalah yang bertaqwa.
--Menutup lembar dalam kesucian--
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, pergantian malam dan siang mengalir deras, menit ke menit, jama ke jam, hari ke hari, Bulan suci Ramadhan sudah dipenghujung masa. Sudah masuk pada tanggal 17 Mei / 24 ramadhan, detik-detik menuju hari raya idul fitri.
Sahabatku semuanya,
Segala amalan telah kita laksanakan, baik yang wajib ataupun yang sunat, secara mandiri ataupun berjama'ah. Kita senantiasa mengharapkan segala jerih payah kita dalam beribadah diterima oleh Allah swt, menjadi nilai amal sholeh yang dicatat. Aamiin
Time of Muhasabah.
---Sampai mana shaum kita mampu merepleksi keta'atan kepada Allah ?
---Seberapa persenkan batrei keimanan kita sudah dicas ?
---Pengorbanan apa yang kita lakukan untuk meraih keridhoannya ?
---Udah mau habis nih ramadhannya, apakah habis pula dosa-dosa kita ?
---Ramadhan sudah mau pamit, apakah kita khawatirkah, sedihkah atau gembira, sukacita ?
Merenunglah, karena merenung adalah satu cara kita menilai diri kita.
Bulan ramadhan adalah bulan pembakaran. Bulan yang penuh kemuliaan dan keutamaan, bulan dengan kuota balasan melimpah ruah. Apa sebetulnya yang dibakar di bulan ini ?
Para ulama menjelaskan, dengan segala kemuliaan dan keutamaannya, Ramadhan menjadi satu kesempatan penting bagi diri kita dalam memperjuangkan kesucian diri. Masa dimana kesempatan dosa-dosa kita diampuni dengan pelbagai penawaran amalan seperti shaum yang ikhlas dan terjaga, terawih yang khusyu dan lainnya.
Masa dimana amalan dilipat gandakan dengan penawaran yang luar biasa. Yang wajib dilipatgandakan, yang sudah dibalas wajib, ada moment-moment sa'atul ijabah do'a, dan masih banyak yang lainnya.
Apa orientasi ramadhan kita ?
Coba kita perhatikan!
Dulu, Langkah awal kita masuk kebulan yang mulia ini untuk apa ? Hal ini nantinya akan berhubungan dengan hasil ramadhan kita.
Apakah kita memasuki ramadhan, karena memang musimnya ramadhan ?
Apakah kita memasuki ramadhan, karena hanya ingin menggugurkan kewajiban saja ?
Apakah kita memasuki ramadhan, karena tau landasan hukum, konsekuensi, tata aturan dan ketentuan-ketentuannya ?
Setiap amalan manusia tergantung pijakan saat pertama kali melangkah. Maka hasil akhirnyapun merefleksikan awal pijakannya. Rasul bersabda :
انما الاعمال بالنيات، فمن كانت هجرتة الي الله ورسوله فهجرته الي الله ورسوله، فمن كانت هجرته الي الدنيا يسيبها اوامراة ينكحها فهجرته الي ماهاجر اليه.
( R. Dua imam Hadits - Bukhari Muslim dari sahabat Amirul Mu'minin Umar Ibn Khattab )
Berdasarkan hadits ini, tersimpan satu ketetapan bahwa dasar pijakan amalan akam berhubungan kepada hasil dari amalan itu sendiri. Orang yang berhijrah karena Allah & rasulnya, maka hijrahnya dalam keridhoan Allah dan rasulnya. Orang yang berhijrah karena harta, maka mendapat harta, yang berhijrah karena ingin menikahi perempuan maka ia mendapatkan hal itu.
Bagaimana hubungannya bahwa dasar pijakan shaum menghasilkan kesucian pada diri ash-shaim ?
Shaum bagi seorang mukmin bukanlah sekedar menahan dari perkara komiditi atau dasar kebutuhan manusia, tapi memiliki makna komprehensif dan universal.
Syairat Shaum yang kita laksanakan hari ini, adalah syariat atau amalan lama para nabi yang disempurnakan syariat dan ketentuannya pada masa Nabi Muhammad saw, melalui dasar hukum Al-Quran.
Kejelasan tentang hal ini tercantum dalam Qs. Al-Baqarah ayat 183.
( Sebagaimana telah diwajibkan kepada kaum sebelummu) fakta sejarahnya adalah Nabi adam as diperintahkan Allah untuk menahan diri dari mendekati sebuah pohon, nabi Musa as melaksanakan shaum 40 hari 40 malam sebelum menerima wahyu ( kitan tauret ), nabi Daud as melaksanakan shaum selang satu hari yang kita kenal dengan shaum sunnat daud.
Kemudian landasan hukum tersebut ditutup dengan harapan derajat ta'abudi ash-shaim menjadi manusia bertaqwa dengan shaumnya.
Lalu, bagaimana peranan shaum dalam upaya penyucian diri ?
Sebagaimana peranan shaum para nabi terdahulu dengan landasan ketauhidan dan keta'atan, maka hal itu pula yang sejatinya merefleksi shaum seorang yang beriman.
Shaum yang mengantarkan pada kesucian diri adalah shaum yang dilandasi ketauhidan, keimanan kepada Allah. Refleksi tentang shaum berlandaskan ketauhidan maknanya adalah Ia melaksanakan shaum bukan karena musim nya ramadhan saja, ia melaksanakan shaum bukan karena oranglain pun melaksanakan, ia melaksanakan shaum bukan karena ingin sehat. Tapi karena kecintaan pada sang maha cinta.
Untaian indah sabda nabi saw :
من صام رمضان ايمانا واحتسابا غفر له ماتقدم من ذنبه
Barangsiapa yang shaum dibulan ramadhan karena keimanan kepada Allah dan mengharap keridhoannya maka Allah menghapus dosanya yang telah lalu.
Konsep kesucian dalam kajian ibadah shaum juga dilihat dari fungsi shaum. Para ulama menjelaskan bahwa fungsi shaum itu :
1. Tazkiyatun Nafs ( Pensucian Jiwa )
-- shaum dalam kajian pensucian jiwa maksudnya adalah pengosongan diri dari kecenderungan fisik manusia yang umunya didominasi oleh nafsu hewani ( Nafsu Al-Amarah bi as-su ). Dengan membatasi dirinya mengkonsumsi makan dan minum akan mengakibatkan melemahnya kekuatan fisik yang diikuti oleh melemahnya dorongan jiwa hewani yang ada pada dirinya.
Jiwa hewani dalam diri manusia itu tidak dapat dibunuh walau dengan cara apapun juga, karena hal tersebut adalah sifat fitrah sebagai manusia yang Allah karuniakan kehadiran akal dan nafsu dalam keseimbangan hidup manusia. Maka lahirnya syairat shaum adalah salah satu cara yang Allah sediakan dalam upaya membina nafsu manusia supaya pada tempat dan poroa yang tepat, sehingga dengan nafsunya menghadirkan ketenangan dalam keta'atan kepada Allah.
Keinginan untuk makan, minum, jima, berbuat baik, bahkan beribadah adalah bukti adanya dorongan nafsu, maka nafsu yang berperan disana adalah nafsu yang dikendalikan oleh akal manusia, nafsu yang membawa ketenangan ( Nafsu Al-Muthmainnah ), hal ini terjadi manakala nafsu manusia ada dibawah akalnya. Maka akalnyalah yang mendominasi dan mengantarkan pada keputusan untuk melakukan perbuatan yang baik dan benar.
Al-Imam Hujjatul Islam Syeikh Abu Hamid Al-Ghazali dalam teorinya mengatakan " ketika dorongan fisik seseorang dipenuhi oleh nafsu hewani kemudian diganti dengan dominasi akalnya, maka manusia akan melalukan tindakan yang positif.
2. Wijaun ( Tameng/Penghalang )
Shaum yang kita laksanakan ini, memiliki peranan sebagai pelindung diri.
Apa sebetulnya yang dilindungi ?
Manusia diciptakan dalam keadaan lemah, maka perlu pelindung dari segala kemungkinan jahat dan godaan. Maka dalam hal ini, Allah menyediakan banyak jalan dan solusi perlindungan manusia dari segala kemungkinan buruk yang datang pada dirinya, baik secara ruhaniyyah ( Godaa. Syetan ), ataupun jasadiyah ( Orang dzolim, orang jahat ).
Salah satunya adalah pelaksanaan shaum. Godaan syetan yang menimpa manusia melalui nafu syahwat akan ditekan dengan perkara shaum, juga orang yang dzolim dan jahat padanya, maka dengan konsep shaum yang benar, akan mendapat jalan keluar dan perlindungan dari para pendzolim dan penjahat.
*Falsafah Pensucian diri melalui shaum*
Maka jelaslah bagi kita, seseorang yang melakukam shaum dibulan ramadhan memiliki tujuan kesucian bagi dirinya dari segala kotoran-kotoran yang ada, sehingga mampu mencapai derajat mulia dihadapan Allah swt.
Perngorbanan yang tidak enteng ini, menunjukan satu proses panjang dalam keberimanan seorang muslim.
Prosesi pensucian diri seorang muslim dalam masa bulan suci ramadhan ini, Allah sempurnakan dengan lahirnya syariat zakat firtah yang memiliki fungsi ganda, baik sebagai pembersih ( تطهرهم ) dan juga sebagai pensuci ( تزكيهم ).
Maka perlu menjadi renungan bagi kita,
Jalan-jalan kesucian itu terbuka lebar dan bersebaran pada bulan suci ramadhan ini, maka tugas kita adalah berusaha sekuat tenaga dan sekemampuan kita untuk mengapai kemuliaan disisiNya dengan segala apa yang Ia karuniakan kepada kita, dan tak pernah menyerah untuk meraij derajat ketaqwaan dan kesucian bagi kita.
Maka makna kembali pada fitrah ( Idul Fitri ) yang senantiasa kita dambakan bukan hanya sekesar seremonial atau sebutan belaka. Tapi menjadi refleksi ibadah yang membawa pada kekhusyuan dan peningkatan keta'atan, juga menjadi buah yang manis dan menjadi bekal yang menyegarkan dalam perjalanan panjang ta'abudi kita kepada Allah swt.
Komentar
Posting Komentar